Pengertian Nilai Pabean
Ketentuan cara penghitungan bea masuk diatur didalam pasal 12 ayat (1) Undang-undang Kepabeanan yang menyatakan bahwa barang impor dipungut bea masuk berasarkan tarif setinggi-tingginya empat pulu persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk
Kemudian didalam pasal 14 disebutkan bahwa, untuk penetapan tarif bea masuk dan bea keluar, barang dikelompokkan berasarkan sistem klasifikasi barang. Berdasarkan Keputusan menteri Keuangan RO No 110/PMK.010/2006 tanggal 15 Nopember 2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi barang Impor, maka sistem klasifikasi barang impor yang berlaku sekarang adalah sistem klasifikasi barang berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) Tahun 2012.
Rumus untuk menghitung nilai pabean adalah : BM = tidaklebih 40% BTKI x Nilai Pabean
Sebenarnya cara penghitungan bea masuk didasarkan pada 2 (dua) cara yaitu dengan mendasarkan pada tarif spesifik atau tarif advalorum. Didalam sistem tarif spesifik, penghitungan bea masuk berdasarkan pada tarif yang dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu untuk setiap satuan atau takaran tertetnu dari suatuu barang impor. Dewasa ini hanya tiga jenis barang impor yang dikenakan tarif spesifik yaitu beras, gula dan minuman mengandung etil alkohon (MMEA).
Sebagian besar barang impor dikenakan bea masuk berdasarkan tarif advalorum, yaitu bea masuk yang dihitung dari persentase tertentu ari harga barang. Persentase tertentu didasarkan pada besaran tarif yang tertera di dalam BTBMI. Sistem tarif advolorum ini sesuai dengan ketentuan pasal 12 dan 13 Undang-undang Kepabeanan.
Jika digunakan tarif advalorum, besarnya bea masuk yang harus dibayar importir tergantung pada harga barang yang bersangkutan. Dengan demikian pengertian nilai pabean adalah nilai yang menjadi dasar untuk menghitung bea masuk
Perkembangan sistem nilai pabean di Indonesia
1. Periode s.d 1985
Sebelum tahun 1985, Indonesia menganut sistem harga patokan (dahulu terminologinya juga disebut 'priscourant') dimana nilai pabean dipatok secara tetap an tertentu selama periode tertentu.Importir yang memberitahukan nilai pabean lebih rendah dari harga patokan akan terkena tambahan bayar bea masuk serta terkena sanksi administrasi berupa denda.Harga patokan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Dalam prakteknya ketiga menteri tersebut sangat jarang melakukan peninjauan kembali atas harga patokan yang telah ditetapkannya sehingga keputusan harga cenderung ketinggalan jaman, tidak aktual dan cenderung tidak mengikuti perkembangan jenis-jenis barang yang kemudian muncul.
Untuk mengatasi hal ini muncul terminologi 'Catatan harga' yang berasal dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kantor Wilayah Bea dan Cukai atau Kantor Inspeksi Bea dan Cukai. 'Catatan Harga' ini kemudian dijadikan dasar penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai. Namun tidak semua barang impor mempunyai catatan harga, sehingga sangat muah bagi Pejabat Bea dan Cukai melakukan pengaturan-pengaturan lebih lanjut yang dapat bermuara pada kepentingan-kepentingan pribadi.
2. Periode 1985 - 1995
Pada periode tahuna 1980an, institusi kepabeanan dipandang sebagai institusi yang sangat tiak efisien, penuh biaya tinggi dan menghambat arus barang impor dan ekspor. akhirnya dengan instruksi Presiden No 4 Tahun 1985 Pemerintah memberlakukan sistem pemeriksaan pra-pengapalan (pre-shipment inspection), dimana diatus sebagai berikut :- impor barang dengan nilai FOB USD 5.000,- atau lebih dilakukan pemeriksaan oleh surveyor yang ditunjuk (yaitu PT Surveyor Indonesia / SGS) untuk melakukan pemeriksaan di Negara pengekspor (pre-shipment inspection)
- ekspor barang tidak dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Pabean
Dibidang impor pemeriksaan nilai pabean dilakukan oleh Surveyor di negara pengekspor yang didasarkan pada harga pasar (prevailing on the market price in the country of exportation). Laporan pemeriksaan surveyor (LPS) yang dikeluarkan Surveyor, disamping meliputi jumlah, jenis dan kualitas barang, juga meliputi harga barang. Jika suatu importasi sudah dilindungi dengan dokumen LPS maka Pejabat Pabean tidak lagi diperkenankan melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan atas tarif dan nilai pabean.
Untuk importasi barang dengan harga kurang dari FOB USD 5.000,- Pejabat Pabean masih mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan fisik, tarif dan nilai pabean. Dasar penetapan nilai pabean adalah harga sebenarnya yang umumnya tercermin pada harga yang tercantum dalam invoice atas barang yang dijual ke Indonesia. dalam hal harga invoice diragukan maka digunakan sebagai data pembanding data barang identik atau barang serupa yang terapat pada Profil Harga I atau Profil Harga II.
3. 1995 - sekarang
Putaran Uruguay, Perundingan perdagangan multirateral GATT di Maroko, tanggal 15 Aapril 1994 telah menyetujui terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Salah satu agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut adalah Persetujuan tentang pelaksanaan Article VII GATT (Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994). Persetujuan ini sering disebut sebagai WTO Valuation Agreement. Persetujuan ini menggariskan bahwa untuk menetapkan harga pabean harus menggunakan salah satu cara dari 6 cara atau metode penetapan harga yang tersedia sebagai berikut :
Bagi indonesia tidak usah menunggu sampai batas waktu ketentuan WTO (1 Januari 2000) karena ketentuan penetapan nilai pabean berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan di dalam pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah atau ditambah dengan Undang-undang No 17 Tahun 2006.
GATT/WTO Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah sistem internasional untuk menetapkan nilai pabean barang impor. Tujuan utama dari WTO Valuation agreement adalah untuk menciptakan sistem penetapan nilai pabean yang netral, adil dan seragam yang tidak memberikan ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau fiktif. WTO Valuation Agreement juga menghendaki agar dasar bagi penetapan nilai pabean sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai pabeannya tersebut. Dengan demikian penerapan WTO Valuation Agreement memerlukan adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea dan cukai.
WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 bagi anggota WTO termasuk tujuh negara anggota ASEAN yang merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Asean Customs Policy Implementation and work Programe (PIWP), semua administrasi bea dan cukai di ASEAN telah setuju untuk memasukan WTO Valuation Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan mereka masing-masing. Sebagai tindak lanjut pada dalam KTT Asean ke-9 pada tahun 2003 di Bali telah isepakati pedoman implementasi yang seragam antar negara ASEAN dalam bentuk Asean Customs Valuation Guide.
Sesuai dengan prinsip utama WTO Valuation Agreement, dasar utama penetapan nilai pabean adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Untuk selanjutnya, maka dipakai metode-metode lainnya didalam pelaksanaan penetapan nilai pabean. Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah atau ditambah dengan Undang-unang no 17 Tahun 2006 telah mengadopsi prinsip-prinsip WTO Valuation Agreement sebagai berikut :
- Metode I : Metode nilai transaksi (article 1 dan 8)
- Metode II : Metode nilai transaksi barang identik (article 2)
- Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa (article 3)
- Metode IV : Metode deduksi (article 5)
- Metode V : Metode komputasi (article 6) dan
- Metode VI : Metoe fall-back (article 7)
Indonesia sebagai negara berkembang telah meratifikasi persetujuan pendirian WTO dengan undang-undang no 7 Tahun 1994. Dengan emikian persetujuan ini mengikat bagi Indonesia, termasuk segala agreement yang terlampir didalam persetujuan tersebut, diantaranya adalah Agreement on Implementation of Article VII of GATT 1994. Konsekuensinya adalah Indonesia harus menyesuaikan segala ketentuan yang berkaitan dengan nilai pabean sesuai dengan ketentuan agreement di maksud.
Bagi indonesia tidak usah menunggu sampai batas waktu ketentuan WTO (1 Januari 2000) karena ketentuan penetapan nilai pabean berdasarkan WTO Valuation Agreement telah dimasukkan di dalam pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah atau ditambah dengan Undang-undang No 17 Tahun 2006.
GATT/WTO Valuation Agreement disusun untuk membangun sebuah sistem internasional untuk menetapkan nilai pabean barang impor. Tujuan utama dari WTO Valuation agreement adalah untuk menciptakan sistem penetapan nilai pabean yang netral, adil dan seragam yang tidak memberikan ruang bagi penggunaan nilai pabean yang sembarangan atau fiktif. WTO Valuation Agreement juga menghendaki agar dasar bagi penetapan nilai pabean sedapat mungkin berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan yang sedang ditetapkan nilai pabeannya tersebut. Dengan demikian penerapan WTO Valuation Agreement memerlukan adanya perubahan pola pikir dunia usaha dan bea dan cukai.
WTO Valuation Agreement mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 bagi anggota WTO termasuk tujuh negara anggota ASEAN yang merupakan anggota WTO. Sebagaimana telah dinyatakan dalam Asean Customs Policy Implementation and work Programe (PIWP), semua administrasi bea dan cukai di ASEAN telah setuju untuk memasukan WTO Valuation Agreement ke dalam peraturan perundang-undangan kepabeanan mereka masing-masing. Sebagai tindak lanjut pada dalam KTT Asean ke-9 pada tahun 2003 di Bali telah isepakati pedoman implementasi yang seragam antar negara ASEAN dalam bentuk Asean Customs Valuation Guide.
Sesuai dengan prinsip utama WTO Valuation Agreement, dasar utama penetapan nilai pabean adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan. Untuk selanjutnya, maka dipakai metode-metode lainnya didalam pelaksanaan penetapan nilai pabean. Pasal 15 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah atau ditambah dengan Undang-unang no 17 Tahun 2006 telah mengadopsi prinsip-prinsip WTO Valuation Agreement sebagai berikut :
- Metode I : Metode nilai transaksi barang impor yang bersangkutan (ayat 1)
- Metode II : Metode nilai transaksi barang identik (ayat 2)
- Metode III : Metode nilai transaksi barang serupa (ayat 3)
- Metode IV : Metode deduksi (ayat 4)
- Metode V : Metode komputasi (ayat 5) dan
- Metode VI : Metoe penetapan nilai pabean berdasarkan tatacara yang wajar an konsisten engan prinsip-prinsip metoe I s/d metode V berdasarkan data yang tersedia di Daerah Pabean (ayat 6)
Metode I sampai dengan Metode VI harus diterapkan secara hierarki penggunaanya.
Kewenangan Penetapan Nilai Pabean
Sistemm kepabeanan di Indonesia menganut asas self assesment, dimana importir diminta untuk memberitahukan didalam pemberitahuan impor jumlah, jenis dan harga barang. Dengan emikian semakin besar nilai pabean di pemberitahuan importir semakin besar pula bea masuk yang harus dibayar importir. Sebaliknya semakin kecil nilai pabean di pemberitahuan importir semakin kecil pula bea masuk yang dibayar importir.
Karena besar keil pungutan negara sangat tergantung besarnya nilai pabean yang diberitahukan importir, maka pemberitahuan nilai pabean ini harus diteliti oleh Pejabat Bea dan Cukai. Tujuannya adalah utuk menghindari pemberitahuan nilai pabean yang lebih rendah dari seharusnya, sehingga mengakibatkan kerugian penerimaan negara dari sektor bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor. Hal ini dalam istilah umum sering disebut under invoice, yaitu invoice alam banyak hal dibuat sendiri oleh importir yang nakal sekedar sebagai persyaratan dokumen pelengkap pabean. Dikalangan pejabat Bea dan Cukai, invoice semacam ini sering disebut sebagai 'invoice pasar pagi'.
Sesuai pasal 16 ayat (2) Undang-undang Kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebelum atau 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan pabean diserahkan oleh importir. Pejabat Bea dan Cukai yang imaksud adalah Pejabat Fungsional Pemeriksaan okumen atau Kepala Seksi Pabean, Berdasarkan pasal 16 ayat (4) Undang-undang pabean. Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari bea masuk yang kurang dibayar.
Keputusan Pejabat Pabean tersebut juga masih dapat ditetapkan kembali oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai alam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pemberitahuan pabean (lihat pasal 17 UU Kepabeanan). Penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalat berakibat kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Dalam hal ini penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, maka importir akan ditagih sesuai kekurangannya.
Sebaliknya dalam hal penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, maka akan dikembalikan sesuai kelebihannya. Importir yang salah memberitahukan nilai transaksinya akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari kekurangan bea masuk. (pasal 17 A UU Kepabeanan).
Karena besar keil pungutan negara sangat tergantung besarnya nilai pabean yang diberitahukan importir, maka pemberitahuan nilai pabean ini harus diteliti oleh Pejabat Bea dan Cukai. Tujuannya adalah utuk menghindari pemberitahuan nilai pabean yang lebih rendah dari seharusnya, sehingga mengakibatkan kerugian penerimaan negara dari sektor bea masuk, cukai dan pajak dalam rangka impor. Hal ini dalam istilah umum sering disebut under invoice, yaitu invoice alam banyak hal dibuat sendiri oleh importir yang nakal sekedar sebagai persyaratan dokumen pelengkap pabean. Dikalangan pejabat Bea dan Cukai, invoice semacam ini sering disebut sebagai 'invoice pasar pagi'.
Sesuai pasal 16 ayat (2) Undang-undang Kepabeanan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebelum atau 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan pabean diserahkan oleh importir. Pejabat Bea dan Cukai yang imaksud adalah Pejabat Fungsional Pemeriksaan okumen atau Kepala Seksi Pabean, Berdasarkan pasal 16 ayat (4) Undang-undang pabean. Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari bea masuk yang kurang dibayar.
Keputusan Pejabat Pabean tersebut juga masih dapat ditetapkan kembali oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai alam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pemberitahuan pabean (lihat pasal 17 UU Kepabeanan). Penetapan kembali Direktur Jenderal Bea dan Cukai dalat berakibat kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Dalam hal ini penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, maka importir akan ditagih sesuai kekurangannya.
Sebaliknya dalam hal penetapan kembali nilai pabean mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, maka akan dikembalikan sesuai kelebihannya. Importir yang salah memberitahukan nilai transaksinya akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari kekurangan bea masuk. (pasal 17 A UU Kepabeanan).
No comments:
Post a Comment