Konsep Dasar Cukai

Konsep dasar cukai dan latar belakang terbentuknya undang-undang cukai
Cukai adalah salah satu instrumen fiskal yang memiliki kedudukan cukup penting sebagai alat pengumpul penerimaan negara. Disamping itu, cukai juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol yang ebrtujuan membatasi konsumsi terhadap barang-barang yang dianggap memiliki dampak negatif.

Berdasarkan histori, Cukai di Indonesia sudah dipungut sejak jaman pemerintahan kolonia belanda sekitar tahun 1886. Hal ini tidak begitu mengherankan, karena bangsa Holland (bagian dari negara Netherland) adalah yang pertama kali mengembangkan pungutan Cukai dalam bentuk pungutan pajak modern yang dikelola oleh penguasa pada  sekitar abad 17. 
Kemudian disusul Inggris yang menetapkan aturan  tentang pungutan Cukai secara resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatanny. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pungutan Cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1971 (Ecarta, 2006).

Gambaran Umum Undang-Undang Cukai

Latar Belakang Terbentuknya Undang-Undang Cukai

Sejak akhir tahun 1995, Indonesia sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, Indonesia masih menggunakan aturan Undang-undang warisan kolonial Belanda. Perjalanan panjang proses penyusunan undang-undang Cukai telah membuahkan hasilnya. Pada tanggal 30 Desember 1995 Undang-undang cukai disahkan. Hal ini sekaligus menunjukkan kemandirian Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Selanjutnya UU Cukai ini secara efektif mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 1996. Masa transisi selama kurang lebih enam bulan tersebut dikondisikan dengan tujuan agar para pegawai DJBC dan masyarakat dunia usaha yang berkepentingan terhadap BKC dapat mengetahui dan memahami serta menyesuaikan diri dengan peraturan perundang-undangan Cukai yang baru.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 tahun 1995, Indonesia menggunakan aturan undang-undang warisan kolonial Belanda. Tercatat, ada lima jenis undang-undang warisan kolonial belanda yang mengatur pungutan Cukai. Secara historis undang-undang tersebut menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari konsepsi dasar penyusunan undang-undang cukai tahun 1995.

Adapun kelima jenis undang-undang cukai lama tersebut adalah :

  1. Ordonansi Cukai Minyak Tanah (ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249 dan Ordonnantie van 11 Mei 1908 stbl. 1908 No. 361)
  2. Ordonansi Cukai alkohol Sulingan (Ordonantie van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 Nomor 90 ea 92 dan Ordonnantie van 10 Juli 1923 stbl. 1923 No. 344
  3. Ordonansi Cukai Bir (Bier Accijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489
  4. Ordonansi Cukai tembakau (Tabacs Accijns Ordonnantie Stbl 1932 Nomor 517; dan
  5. Ornonnantie Cukai gula (Suiker Accijns Ordonnantie, Stbl 1933 nomor 351
Keberadaan perundang-undangan Cukai dari sistem hukum Pemerintah Kolonial belanda tersebut dirasakan tidak lagi sejalan dengan semangat kemandirian bangsa, karena memiliki sifat-sifat antara lain :
  1. diskriminatif
  2. obyek terbatas
  3. tidak dapat memenuhi tuntutan pembangunan; dan
  4. tidak dapat memenuhi perannya sebagai alat pembaharuan sosial
Dikatakan "diskriminatif" karena undang-undang Cukai yang lama memberlakukan Ordonansi Cukai alkohol Sulingan, hanya di Jawa dan Madura saja. Pemberlakuan tidak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Indonesia, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu masih terbatas. Konsekuensinya, pemakaian atas alkohol sulingan di luar jawa dan madura, cukainya tidak dipungut.

 Pengertian "obyek Cukainya dikatakan terbatas" karena dalam undang-undang cukai tersebut tidak dimungkinkan dilakukan pengembangan obyek cukai baru. Apabila suatu saat negara memerlukan dana yang lebih besar dari cukai guna membiayai pengeluaran pemerintah, maka yang dapat dilakukan adalah membentuk undang-undang cukai baru yang spesifikasi menunjuk pada barang kena cukai (BKC) tertentu.

demikian pula undang-undang cukai yang lama merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda, menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya, sehingga penerapannya senantiasa dikaitkan dengan :
  1. politik, ekonomi dan sistem hukum yang semata-mata untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda;
  2. Indonesia oleh Pemerintah Hindia belanda dianggap sebagai daerah jajahannya
  3. Indonesia (Hindia Belanda) merupakan daerah eksploitasi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (kerja paksa / tanam paksa)
Peraturan perundang-undangan Cukai yang lama dirasakan tidak lagi dapat memnuhi tuntutan pembangunan dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan era globalisasi yang dewasa ini sedang berkembang. Disamping itu adanya kehendak pemerintah untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945, maka pemerintah melakukan suatu undang-undang Cukai yang baru. Hal ini juga menunjukan kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat.

Prinsip Dasar Penerapan Undang-Undang Cukai

Didalam memebrlakukan perundang-undangan Cukai yang baru (UU No 11 tahun 1995 jo. UU Nomor 39 Tahun 2007) menganut beberapa prinsip sebagai berikut :
  1. Keadilan dalam keseimbangan; artinya bahwa implementasi pengenaan cukai harus jelas dan tegas, dimana pembebeanannya hanya paa produk yang telah ditentukan dan kepada orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan untuk itu serta perlakuan kepada pihak terkait harus sama dan dalam kondisi yang sama, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Pemberian Insentif berupa fasilitas pembebasan cukai dan tidak dipungut cukai. Fasilitas ini diberikan terhaap pengusaha BKC tertentu dan juga atas obyek BKC tertentu pula dengan maksud memberikan manfaat terhadap pertumbuhan perekonomian Nasional
  3. Pembebasan produksi dan juga konsumsi masyarakat terhadap BKC melalui instrumen tarif yang ada, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat di bidang kesehatan, keamanan dan ketertiban lingkungan
  4. Netral, dimana dalam pemungutan cukai tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan distorsi perekonomian nasional
  5. Kelayakan administrasi mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan pemungutan cukai, hendaknya administrasi cukai dilakukan secara tertib, terkenali, sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat
  6. Kepentingan penerimaan negara dalam arti fleksibilitas ketentuan undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai melalui berbagai perhitungan yang tepat dan matang, sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan negara. 
  7. Pengawasan fisik dan administrasi dilakukan terhadap BKC tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang berdampak negatif bagi kesehatan dan ketertiban umum serta diterapkannya sanksi yang bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang cukai.
Disamping itu undang-unang cukai yang baru juga dapat menampung hal-hal yang sebelumnya tidak ada, antara lain :
  1. adanya pasal yang memungkinkan penambahan dana pengurangan obyek cukai
  2. adanya pemebrian fasilitas di biddang cukai berupa tiak dipungut cukai dan pembebasan sebesar 100 %
  3. addanya sanksi administrasi
  4. addanya audit di bidang cukai
  5. aanya lembaga banding (lembaga pertimbangan Bea dan Cukai)
  6. addanya ketentuan pidana yaitu dalam hal : tidak mengkualifikasi delik dalam pelanggaran dana kejahatan, mengatur kadaluarsa penuntutan (10 tahun) dan hukum penjara sebagai pengganti denda

    Fungsi dan Tujuan Pengenaan Cukai

    Cukai merupakan salah satu penerimaan pajak yang memiliki karakteristik berbeda dengan penerimaan pajak lainnya. Perbedaan karakteristik yang paling utama adalah adanya sifat diskriminatif atau pemilihan yang selektif terhadap objek yang dikenakan pungutan cukai. Secara umum, ada dua kontribusi utama pungutan cukai terhadap pembangunan. Kontribusi pertama berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat budgetair pemerintah. Kontribusi yang ke dua berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat regulered.

    Fungsi Cukai sebagai alat BudgetairCukai merupakan salah satu jenis pungutan pajak yang memiliki peranan cukup strategis sebagai sumber penerimaan negara. Dalam struktur penerimaan APBN, cukai termasuk dalam kelompok penerimaan pajak dalam negeri bersama-sama dengan penerimaan pajak lainnya antara lain : PPN, PPh, PBB dan pajak lainnya. Berkaitan dengan pengelolaan fiskal oleh DJBC, cukai merupakan salah satu dari tiga jenis pungutan negara yang dipungut oleh DJBC. Ketiga jenis pungutan pajak yang ipungut dan dikelola administrasinya oleh DJBC addalah bea masuk, bea keluar dan Cukai. Kontribusi cukai memiliki peran yang sangat strategis khususnya dari sisi penerimaan DJBC. Penerimaan yang dihimpun oleh DJBC sebagian beras diperoleh dari sektor Cukai dan secara nominal nilainya selalu lebih besar dibanding penerimaan bea masuk atau bea keluar dari waktu ke waktu.

    Fungsi Cukai Sebagai Alat ReguleredDisamping berfungsi sebagai alat pengumpul penerimaan negara, cukai juga berfungsi sebagai instrumen kontrol pemerintah terhadap pola perilaku konsumen terhadap BKC. Kebijakan strategis pemerintah terhadap pungutan cukai tiak semata-mata ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara, namun pemerintah juga memperhitungkan tujuan-tujuan lain seperti kesehatan masyarakat, pengendalian dampak sosial dan sebagainya.

    No comments: