Definisi Cukai dan Karakteristik BKC

definisi cukai dan karakteristik barang kena cukai

Definisi Cukai

Keberadaan pungutan Cukai sebagai salah satu jenis panajk yang ipungut oleh otoritas negara, tidak lepas ari konsep pungutan pajak secara umum. Cukai adalah salah satu jenis pajak yang ipungut oleh negara terhadap bena atau barang tertentu. Definisi pajak penurut Prof. Adriani (dalam Brotodihardjo 1995) adalah : "Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya, menurut peraturan-peraturan dengan tidak menapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung engan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan". Konsep ini menitikberatkan definisi pajak dari sudut pandang budgetair, artinya bahwa pajak dimaksudkan sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Sama halnya dengan pungutan pajak-pajak lainnya, maka perlakuan pungutan Cukai oleh pemerintah haruslah didasarkan atas undang-undang. Ketentuan pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen ke-4) manyatakan bahwa : "Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang". Selanjutnya ketentuan dasar ini ditindaklanjuti dengan menyusun Undang-undang nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang telah diamandemen dengan Undang-unang nomor 39 tahun 2007.

Menurut Undang-unang Nomor 39 tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, definisi cukai dapat ditemukan dalam pasa 1 UU Cukai. 
Pasal 1 ad.1. UU Cukai : Cukai adalah pungutan negara yang ikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mmepunyai sifat atau karakteristik yang itetapkan dalam Undang-Undang Cukai.

Definisi ini memberikan penekanan bahwa konsep dasar Cukai pada hakekatnya adalah pungutan pajak yang bersifat objektif. Pengertiannya bahwa, sifat pungutan cukai berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keaaan diri dari si wajib cukai (subjeknya).

Azas Pungutan Pajak

Prof. Rachmat Soemitro dalam bukunya "Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan". Soemitro (1977) memberikan andangan mengenai azas pemungutan pajak yang dibedakan menjadi tiga azas utama yaitu :
  1. Azas Domisili. suatu pungutan pajak dapat digantungkan pada domisili (tempat kediaman) dari wajib pajak di suatu negara. Berdasarkan azas ini, suatu negara berhak untuk mengenakan pungutan pajak terhadap setiap orang yang berdomisili di wilayahnya atas semua pendapatan yang diperoleh dimana saja (word wide income). Dengan kata laun, orang asing pun dapat dikenakan pajaka jika berdomisili di Indonesia tanap harus menjadi warga negara Indonesia.
  2. Azas sumber. Suatu pungutan pajak yang digantungkan kepada adanya sumber-sumber pendapatan yang iperoleh disuatu negara. menurut azas ini, maka pemerintah Indonesia berhak mengenakan pajak atas sumber-sumber pendapatan yang berada di Indoneisa. Contoh : warga negara asing bekerja di Indoneisa, maka atas penghasilan yang diperolehnya tersebut Pemerintah berhak memungut pajak
  3. Azas Kebangsaan. suatu pungutan pajak yang digantungkan kepada status kewarganegaraan dari seseoran gyang memiliki pendapatan. Konsep pendapatan yang diperoleh dimanapun seseorang berada (word wide income) akan menjadi pungutan pajak oleh pemerintah dimana kewarganegaraan orang tersebut berada. Azas ini diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap pemnghasilan para warga negaranya.

Aza Pungutan Cukai

Berdasarkan konsep perbedaan pajak menurut Prof. Adriani (dalam Brotodihardjo, 1995), Cukai tergolong sebagai pajak obyektif yang dipungut berdasarkan pemakaian (pajak atas konsumsi). Ciri khas dari jenis pajak obyektif ini terletak pada titik tangkap utamanya, yaitu berupa benda, keaaan, peristiwa atau perbuatan.

Undang-undang nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai memberikan balasan pemungutan BKC yang dibuat di Indonesia atau diimpor ke Indonesia. Ketentuan ini secara spesifik diatur dalam pasa 3 undang-undang cukai, yang sekaligus memberikan pengertian mengenai "titik tangkap (tatsbestaand)" mulai timculnya hutang cukai. Secara yuridis titik tangkap pungutan Cukai terjadi pada dua kondisi :
  • pada saat selesai dibuat, atas BKC yang dibuat di Indonesia
  • pada pemasukannya ke dalam Daerah Pabean, atas BKC yang diimpor sesuai dengan Undang-undang Kepabeanan
Menganalogikan pada pendapat Prof. Soemitro mengenai azas pungutan pajak, maka azas pungutan Cukai yang berlaku di Indonesia pada hakekatnya menerapkan azas domisili. Cukai yang dipungut terhadap BKC yang dibuat di Indonesia atau yang imasukan ke Daerah Pabean Indoneisa. Sebagai pajak atas konsumsi, pungutan Cukai hanya dikenakan terhadap BKC yang dikonsumsi oleh setiap orang yang berdomisili di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia atau orang asing.

Referensi rujukan terhadap konsep azas domisili dalam sistem pungutan Cukai dapat dimaknai dari beberapa pasal yang iatur dalam Undang-undang Cukai antara lain :
  1. Pasal 7 ayat 91) " Cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran BKC dari pabrik atau tempat penyimpanan".
  2. Pasal 7 ayat 2 : "Cukai atas BKC yang diimpor, dilunasi paa saat BKC diimpor untuk dipakai".
Dalam penjelasan pasal 7, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan diimpor untuk dipakai adalah dimasukkan ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai, dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia.

Menurut konsep azas domisili, pungutan Cukai dikenakan terhadap perbuatan mengkonsumsi BKC oleh siapapun, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang berdomisili atau bertempat tingga di wilayah hukum Indonesia. Dengan demikian, BKC yang dikeluarkan dari wilayah hukum Indonesia tidak akan dipungut Cukai. Undang-undang Cukai mengakomodasikan, fasilitas tidak dipungut Cukai terhadap BKC yang diekspor, diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar negeri dalam Pasal 8 ayat (2).

Karakteristik Cukai

Menurut Undang-undang cukai, pungutan cukai dikaitkan dengan sifat atau karakteristik yang ditetapkan alam undang-undang Cukai. Adapun sifat atau karakteristik dasar pungutan Cukai diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang cukai sebagai berikut :

Konsumsinya perlu dikendalikan
Salah satu prinsip dasar pungutan cukai yang berlaku unversal adalah adanya maksud "pembatasan" terhadap konsumsi suatu produk. Otoritas negara menghendaki agar masyarakat tidak mengkonsumsi secara berlebihan terhadap suatu produk. Alasannya dapat bermaca-macam, antara lain : karena alasan kesehatan, sumber daya yang terbatas dan sebagainya.

Indonesia termasuk salah satu negara yang menggunakan alasan pembatasan konsumsi dalam sistem pungutan cukai. Pungutan Cukai di pakai sebagai instrumen fiskal yang akan membatasi konsumsi terhadap barang-barang yang dapat merusak kesehatan, seperti : etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA) an produk hasil tembakau. Pungutan Cukai cocok digunakan sebagai instrumen pengendali konsumsi terutama di negara-negara berkembang oleh karena otu pola behaviour konsumsi masyarakatnya cenderung price sensitively. Apabila beban cukai diterapkan dalam besaran yang tepat maka pola konsumsi masyarakat cenerung akan menurun.

Khusus terhadap produk hasil tembakau, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan warning yang cukup tegas kepada otoritas negara-negara anggotanya mengenai bahaya merokok bagi kesehatan. WHO telah merintis suatu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak tahun 1999. Pada akhirnya FCTC berhasil disepakati pada tanggal 28 Mei 2003 di Genewa dan mulai diberlakukan tanggal 27 Februari 2005. Hingga bulan Juli 2009, FCTC telah iratifikasi oleh 166 negara. Posisi Indonesia sendiri hingga saat ini masih belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut, walaupun kebijakan ke arah tersebut sudah menjadi wacana yang cukup sering dibahas oleh otoritas pemerintah.

Adapun hal-hal pokok yang direkomendasikan dalam FCTC sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok dunia, adalah sebagai berikut :
  • Penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan. Banyak negara-negara didunia yang menggunakan Cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi produk hasil tembakau. Khusus di Indonesia, pemerintaha dapat menerapkan pungutan Cukai dengan tarif maksimal sebesar 57% dari harga jual eceran atau 275% dari harga jual pabrik.
  • Pelanggaran penjualan produk temabakai kepada anak dibawah umur. dampak negatif produk hasil tembakau bagi kesehatan cukup mengkhawatirkan. Beberapa referensi kesehatan menyebutkan bahwa konsumsi rokok menjadi salah satu pemicu utama berbagai penyakit berbahaya seperti : jantung, strok, hippertensi, kanker paru an sebagainya. Hasil kajian WHO menyebutkan bahwa tingkat konsumsi rokok di negara-negara Asia (negara berkembang) semakin meningkat terutama pada usia produksitf. Kebiasaan merokok pada usia dini biasanya akan terus dibawa hingga memasuki usia remaja karena sifat rokok dapat menimbulkan rasa ketergantungan (addict). Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari dan peduli dengan dampak negatif produk hasil tembakai. bentuk kepedulian pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
  • Pelanggaran penjualan produk hasil tembakau dalam batangan atau dalam jumlah kecil. salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah konsumsi hasil tembakau adalah kemudahan akses mendapatkan produk tersebut. apabula penjualan eceran produk hasil tembakau dilakukan dengan suatu kemasan dalam jumlah kecil maka harganya relatif semakin terjangkau konsumen. Dampaknya akan semakin meningkatkan jumlah konsumsi produk hasil tembakai, karena semakin banyak orang yang memapu membeli produk murah tersebut.
Peredarannya perlu diawasi
Obyek pungutan cukai tertetnu yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat perlu dijaga dan diawasi peredarannya. Tujuan utamanya adalah agar tidak menimbulkan gangguan kepaa kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satu obyek Cukai yang memiliki kriteria ini adalah produk MMEA. Dampak negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat terhaap peredaran MMEA yang tidak terkontrol adalah timbulnya keresahan masyarakat.

Oleh kareanya otoritas pemerintah menetapkan kebijakan memungut cukai sebagai salah satu upaya untuk mengontrol peredaran MMEA di pasaran/ Logika berfikir sederhana saja, apabila produk MMEA dikenakan cukai maka harga produk akan menjadi mahal. Harga produk yang mahal akan membatasi akses masyarakat terhadap konsumsi MMEA.

Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif
Bila melihat cukai berdasarkan prinsip dasar yang bersifat universal, pungutan cukai hanya dipungut terhadap barang-barang tertentu (selective coverage) sesuai dengan maksud-maksud yang diinginkan otoritas pemerintah. salah satu "intention" yang juga bersifat universal adalah untuk membatasi barang-barang yang apat berdamkap negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
Ketiga BKC (atil alkohol, MMEA dan hasil tembakau) yang menjadi pilihan Pemerintah Indonesia untuk dikenakan Cukai memiliki karakteristik dapat menimbulkan dampak negatif. Etil alkohol dan MMEA memiliki ampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga dampak negatif terhadap kehiupan sosial masyarakat. Hasil tembakau memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga kesehatan masyarakat secara luas.

Pembebanan atas dasar keadilan dan keseimbangan
Berasarkan penjelasa Pasal 2 Undang-unang Cukai, pengertiak karakteristik ini mengacu pada status cukai sebagai instrumen fiskal yang dapat ikenakan terhadap barang yang dikategorikan mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan Pokok. Tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan pungutuan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah.

No comments: